Kamis, 21 Agustus 2008

AUTISME

Pengakuan Condro memang menjadi sesuatu yang sensasionil dan mengejutkan. Namun keterkejutan kita akan drama ini pasti tidak akan lama dan menggangu jantung kita. Seperti halnya tiba-tiba kita dikejutkan dengan kata ciluk ba oleh orang yang kita kenal. Kaget lalu kita tertawa bersama. Kita akan lebih terbahak jika kita membayangkan apa yang akan kita dapati pada akhirnya. Semudah kita menebak alur cerita dalam sinetron –sinnetro. Pada akhirnya akan selalu happy ending. Pada akhirnya dewi fortuna pun dipaksa memihak pada sebuah kepentingan.

Tiba-tiba jadi terpikir, jangan-jangan sebagai bangsa kita memang sedang mengidap penyakit autisme massal. Semua orang seolah-olah sibuk dengan dunia dan kepentingannya sendiri. Dan lalu budaya kepekaan sosial menjadi sesuatu yang tidak lebih dari sebuah kesopanan semu. Seandainya Nietzche masih hidup, dia pasti akan berteriak-teriak menyaksikan kemunafikan semacam ini.Munafik atau tidak, barangkali bukan masalahnya.

Kecenderungan menjadi autis agaknya menjadi sisi gelap dari mahkluk multidimensi yang dinamakan manusia ini. Di sinilah akar dari munculnya berbagai bentuk persoalan personal maupun sosial di dunia yang pernuh warna-warni ini. Ironis memang, ketika manusia bertanya apa tujuan hidup ini, hampir 80 persen akan mencari jawabannya pada yang diatas (baik dengan menunjuk atau pun malu-malu melihat ke atas), namun dalam kenyataan, autisme sepertinya lebih menjadi pilihan kita.

Meski 400 tahun lalu Descartes menegaskan bahwa substansi yang utama adalah Tuhan dan I. Kant mengingatkan kita bahwa perbuatan adalah baik jika dilakukan karena wajib dilakukan, namun agaknya manusia tidak pernah mencari hikmat dari kesalahannya dan seringkali teralu bangga dengan diri sendiri . Kita lupa bahwa setiap kita punya potensi menjadi seperti Achiles. Chinese Way yang ke 17 mengingatkan kita akan akan hal yang penting yakni Respect for self; Respect for others; Responsibility for all your actions