Jumat, 15 Agustus 2008

BELAJAR

Socrates pernah mengatakan kalimat yang terkenal ini : yang saya tahu dengan pasti adalah bahwa saya tidak tahu apa-apa. kalimat sederhana ini menjadi kalimat paradox yang sarat kebijkasanaan karena keluar dari mulut seorang socrates (bukan penulis posting ini). Makna kalimat ini menjadi lain ketika keluar dari mulut saya, kalau penulis ditanya tentang apa itu Fisika Quantum. Atau akan menjadi kalimat yang sangat jahat ketika disuarakan oleh Polikarpus ketika ditanya apa kaitannya dengan kematian Munir. Dengan kata-kata itu, tentu saja Socrates tidak sedang gelisah akan perdebatan tentang self esteem atau modest. kalimat ini adalah kalimat falsafati yang mengungkapkan kedalaman hakekat manusia. Dengan kalimat ini Socrates mengingatkan kita bahwa manusia itu adalah falliable atau mahkluk yang berkecenderungan untuk (membuat ke)keliru(an) dan lagi, pada hakekatnya, ada begitu banyak hal yang tidak dimengerti oleh mahkluk yang namanya manusia.

Mencoba finding the truth between the paradox lines dalam kata-kata ini, terlintas kata Belajar. Sistem docta ignorantia ala Socrates ini, menarik bagi siapapun yang mau jadi pembelajar. Karena hal itu mengandaikan orang yang belajar, tidak menjadi mandeg dan terus membuka kemungkinan untuk menemukan jawaban yang lebih baik lagi. Barangkali kalau dilihat dalam kacamata topologi kepribadian menurut warna, mereka penyuka warna putih, untuk kerbukaan dan rasionalistinya.

Belajar yang paling mengasykkan tapi paradoksnya sekaligus paling malas kita lakukan adalah belajar terhadap pengalaman hidup. Luciifer’s effect adalah bukti nyata kemalasan kita untuk belajar dalam hal ini. Demikian juga persoalan stress yang memang bisa menjadi teman, tapi pilihan berteman dengan stress adalah pilihan yang minimalis dalam sebuah pembalajaran terhadap hidup. Barangkali yang paling penting dipikirkan adalah mengapa kita malas belajar dari pengalaman ? atau lebih parah lagi, mengapa kita tidak termotivasi untuk belajar terhadap atau dari suatu pengalaman hidup (diri sendiri maupun orang lain). Jawaban yang bernuansa psikososioantropologik, agaknya kurang memuaskan, karena pasti berputar-putar soal blaming the outside dan biasanya bias fatalis. Padahal jawabanya mesti dicari dengan semangat looking for the inside, deep deep down.

Yang jelas banyak orang di negri ini, termasuk politisi dan selebriti, tidak (mau) belajar (lagi).

1 Komentar:

Blogger DEMPO'S POET SOCIETY mengatakan...

dari dulu saya emang udah jatuh cinta sama tulisan-tulisan Romo Agung. Puisi-puisinya jangan lupa diposting juga, ya Romo!

16 Agustus 2008 pukul 11.01  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda