Sabtu, 16 Agustus 2008

KOMPETISI

Saya agak ragu kalau globalisasi menjadi faktor yang berpengaruh dalam agresi remaja dewasa ini. Tapi kalau globalisasi, memperbesar gairah manusia untuk kompetisi, saya setuju sekali. Baik kompetisi dalam pengertian obyektif-profesional maupun kompetisi dalam arti subyektiv dan bersemangat terorris.

Namun kompetisi adalah tetap sebuah persaingan kendati terbungkus dalam suatu budaya yang sarat dengan nilai-nilai kesopananan dan religi. Dan dalam hal ini semangat “homo homini lupus” tetap relevan dan diminati. Karena itu, menarik untuk melihat kondisi psikologis para audit talented reality show di tv-tv, ketika mendengar pengumuman bahwa mereka tidak termasuk atau setidaknya belum tereliminasi. Saya kira tangisan mereka sukar untuk diartikan maksudnya. Atau sedih karena harus berpisah dengan rekan mereka atau senang karena toh masih selamat dari elminasi.

Begitulah kompetisi mempemainkan psikologi manusia dan membuat kita menjadi stress serta sedikit schisopreni. Yang lebih membuat geli kompetisi juga bisa membuat seorang kehilangan akal budi. Lalu mulai percaya pada jampi jampi seperti orang yang pecaya ada hubungan antara nama dan seks. Tetapi yang paling keji dari sebuah kompetisi adalah hilangnya hati nurani dan harga diri. Sehingga seorang caleg bisa tetap berbangga dengan diri sendiri meski dengan modal ijasah palsu dan masa lalu yang penuh kebusukan.

Memang ketika kompetisi merambah ranah politik dan kekuasaan ia akan menemukan jodohnya pada pemikiran si kumis Nietzsche dalam buku the Will to power (kehendak untuk berkuasa) dan bisa dibayangkan kegilaan yang terjadi. Barangkali cita-cita Immanuel Kant akan kemanusian yang sampai pada persaudaraan dan perdamaian abadi hanya akan dialami manusia saat kematian datang menjemput.

Merenungi semangat kompetisi, saya jadi skeptis ketika membaca 21 Chinese Ways , jalan pertama : Give people more than they expect and do it cheerfully.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda